Perjuangan Dewi Sartika dalam Mendirikan Sekolah Perempuan Pertama demi Kesetaraan Pendidikan
Foto Dewi Sartika. Sumber: Wikimedia Commons
Pada zaman penjajahan Belanda, tidak semua warga pribumi memiliki akses untuk belajar, terutama sekolah. Hanya orang Eropa dan pribumi yang berasal dari kalangan menak priyayi atau bangsawan yang bisa mendapatkan kesempatan untuk bersekolah. Anak-anak yang berasal dari keluarga tukang kebun, anak pembantu, dan kalangan pribumi lainnya yang dianggap rendahan tampaknya tidak memiliki harapan untuk mendapatkan pendidikan, terutama anak perempuan.
Namun, dalam situasi ketidaksetaraan seperti ini, Dewi Sartika muncul sebagai pahlawan dengan perasaan solidaritas terhadap sesama warga bangsa. Berbeda dengan kalangan menak lainnya, Dewi Sartika beruntung mendapatkan kesempatan untuk bersekolah karena keluarganya peka terhadap nasib rakyatnya. Ia tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak dengan memberanikan diri untuk mengajarkan membaca dan menulis kepada perempuan pribumi. Bahkan, ia mulai melakukannya sejak usia belia saat tinggal di Cicalengka.
Ketika berusia 10 tahun, Dewi dengan diam-diam mengajar anak-anak pembantu untuk membaca dan menulis. Meskipun berasal dari kalangan menak, Dewi tidak merasa gengsi dan terus berinteraksi dengan rakyat jelata. Di belakang gedung kepatihan, Dewi sering mengajar anak-anak pembantu membaca dan menulis bahasa Belanda dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti arang, pecahan genting, dan papan bekas.
Berkat tindakan Dewi ini, Cicalengka menjadi gempar karena sejumlah anak pembantu kepatihan mampu membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Belanda meskipun dengan tingkat yang sederhana.
Ternyata, semua ini adalah hasil dari permainan Dewi Sartika ketika ia bermain sekolah-sekolahan. Dewi selalu mengambil peran sebagai guru dan memberikan kesempatan kepada anak-anak pembantu untuk merasakan bagaimana rasanya bersekolah dan mempelajari kunci ilmu pengetahuan, yaitu membaca dan menulis. Meskipun ini hanya berlangsung dalam permainan, secara tidak langsung Dewi mengajarkan anak-anak pembantu membaca dan menulis dalam bahasa Belanda.
Namun, hubungan antara Dewi dan anak-anak pembantu di Cicalengka harus berakhir ketika Dewi memasuki usia remaja dan kembali ke Bandung untuk tinggal bersama ibunya. Meskipun bermain sekolah-sekolahan bukan lagi aktivitas utamanya, semangatnya untuk menciptakan kesetaraan dalam pendidikan tetap berkobar.
Dewi juga mendapatkan dukungan dari pamannya, Bupati Martanagara, yang memiliki visi yang serupa. Namun, pada masa itu adat sangat membatasi peran wanita, yang membuat pamannya merasa khawatir. Namun, karena ketekunan dan semangatnya yang tidak pernah padam, akhirnya Dewi Sartika berhasil meyakinkan pamannya untuk mengizinkannya mendirikan sekolah khusus untuk perempuan.
Sejak tahun 1902, Dewi Sartika mulai memulai perjalanan pendidikan bagi perempuan. Ia mengajar di sebuah ruangan kecil di belakang rumah ibunya di Bandung, mengajarkan berbagai keterampilan seperti merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis kepada anggota keluarganya yang perempuan.
Setelah berkonsultasi dengan Bupati R.A Martanegara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika memulai pendirian Sakola Istri atau sekolah perempuan pertama di seluruh Hindia Belanda. Sebelumnya, tidak ada sekolah perempuan di wilayah penjajahan Belanda.
Untuk membantu mengajar para murid perempuan ini, Dewi dibantu oleh dua saudaranya yang bernama Poerwa dan Oewid. Angkatan pertama sekolah ini terdiri dari 20 orang murid dan mereka belajar di pendopo Kabupaten Bandung.
Singkatnya, sekolah ini semakin diminati oleh masyarakat sekitar karena tidak ada tempat lain yang menyediakan kesempatan belajar bagi rakyat jelata. Semakin banyak murid yang mendaftar, pendopo dan ruangan kepatihan Bandung tidak lagi mampu menampung mereka.
Oleh karena itu, pada tahun 1905, Dewi Sartika memutuskan untuk membeli tanah di Jalan Ciguriang, Kebon Cau, dengan menggunakan uang pribadinya dan dana bantuan dari Bupati Bandung. Akhirnya, Dewi berhasil membangun sekolah sendiri. Lima tahun kemudian, ia juga menggunakan uang pribadinya untuk memperbaiki sekolah agar lebih representatif.
Tindakan Dewi Sartika dalam mendirikan sekolah perempuan menarik perhatian pemimpin daerah lain. Beberapa daerah mulai meniru langkah yang diambil oleh Dewi. Akhirnya, pada tahun 1912, terdapat sembilan sekolah perempuan di wilayah Pasundan, dan pada tahun 1920, sekolah perempuan sudah tersebar di seluruh wilayah Pasundan.
Sekolah perempuan Dewi Sartika menghadapi cobaan berat selama Perang Dunia I, ketika terjadi krisis keuangan global. Beberapa tahun kemudian, sekolah perempuan Dewi Sartika terpaksa harus berhenti beroperasi karena Bandung menjadi medan pertempuran dan diduduki oleh Belanda.
Dewi Sartika kemudian mengungsi ke Tasikmalaya dan meninggal pada 11 September 1947. Meskipun begitu, perjuangannya untuk menciptakan kesetaraan dalam pendidikan akhirnya membuahkan hasil.
Sumber: Tempo
Post a Comment