Menelisik Harmonisasi Buddha dan Islam Nusantara
Oleh: Muhammad Mukhlisin
Judul :
Berpeluh Berselaras: Buddhis – Muslim Meniti Harmoni
Penulis :
Zaenal Abidin Ekoputro, dkk
Tebal :
viii + 248 halaman
Penerbit :
Kepik Ungu, Depok
ISBN :
978-602-98350-0-7
Terbit :
Cetakan I, Januari 2011
Beberapa pekan ini hampir
semua media nasional dan internasional fokus menyoroti eskalasi konflik etnis
Rohingya dan Rakhine di Myanmar. Sedikitnya pada bulan Mei dan Juni ini
mengakibatkan 77 orang meninggal, 109 orang luka, 5.000 rumah rusak atau
terbakar, 17 masjid rusak, dan 15 monastri (tempat ibadah umat Budha) rusak
menjadi korban konflik di negeri yang dipimpin oleh Presiden Thein Sein ini. PBB
bahkan mengkategorikan etnis Rohingya kedalam etnis paling terdiskriminasi di
dunia. Sejatinya konflik ini adalah konflik etnis antara Rohingya dan Rakhine.
Namun belakangan konflik tersebut santer menerabas kedalam isu agama yang
dianut oleh kedua etnis yaitu Buddha dan Islam. Sehingga hubungan Buddha dan
Islampun saling "melirik", tak terkecuali di Indonesia.
Buku yang ditulis oleh
sekumpulan peneliti Centre of Asian Studies (CENAS) ini merupakan hasil riset relasi antara umat Buddhis dan Muslim yang
telah berlangsung lama di Nusantara. Relasi Muslim dan Non-Muslim di nusantara
ini seakan harus berbicara tentang hubungan Islam – Kristen dan konflik yang
menyertainya. Akibatnya relasi Islam dengan agama lainnya menjadi terabaikan.
Padahal banyak relasi yang menarik untuk dicermati.
Dalam catatan sejarah, relasi
Buddhis – Muslim tidak selalu
menunjukkan keharmonisan. Di Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur lahirnya
komunitas Buddhis Gambiran bermula dari ketegangan politik antara kelompok
santri, abangan, Masyumi dan PNI. Ketegangan ini terjadi memuncak setelah
tragedi 1965 sehingga membuat orang-orang PNI melakukan konversi massal ke
agama Budhha. Namun lambat laun ketegangan politik ini mampu diurai secara
perlahan dan berjalan lurus dengan mekanisme sosial yang berjalan dimasyarakat.
Saling menghargai satu sama lain sambil membangun basis pengertian dan
penghormatan terhadap agama lain menjadi modal membangun sebuah masyarakat
harmonis di Gambiran. (Hal. 100)
Sementara itu di Tlogowungu,
Temanggung, Jawa Tengah mengakar kuat prinsip kerukunan umat beragama
"naluri pirukunan". Sebuah konsep keberagamaan yang diilhami oleh
nilai-nilai luhur kejawen. Naluri pirukunan ini amatlah terasa
dimasyarakat Tlogowungu yang terdiri dari berbai macam agama seperti Islam,
Katholik, kristen, dan Buddha. Berbagai hajatan desa seperti nyadran
(bersih desa), kerja bakti, maupun hajatan individual amat menonjolkan sifat
kolektifitas masyarakat. (Hal. 110)
Secara umum relasi
Buddhis-Muslim Nusantara menunjukkan hubungan yang harmonis. Hal itu bisa
terlihat dari pola-pola relasi yang terjadi antara keduanya seperti pendirian
tempat ibadah, ritual kegamaan, hak dan peran dalam masyarakat, pertukaran
kepentingan, dan hubungan antar lembaga keagamaan. Namun yang perlu diwasdapai
adalah faktor-faktor yang bisa memicu konflik, seperti keterlibatan pihak luar
yang terkadang menodai hubungan yang telah terjadi. Seperti profokasi yang
terjadi di Tlogowungu dan Kaloran pada tahun 2000 silam. (Hal. 165)
Buku setebal 248 halaman ini menghadirkan relasi
Buddhis-Muslim nusantara dengan sudut pandang riset yang detail.
Pernyataan-pernyataan informan dan narasumber penelitian menjadikan buku ini
semakin penting untuk mengungkap keharmonisan dan merajut kehidupan
keberagamaan dimasa yang akan datang.
Penulis adalah Peneliti di
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
Post a Comment