Menariknya Nikah Beda Agama
Suasana diskusi dan bedah buku "Pernikahan Beda Agama" di UIN Jakarta, Selasa (30/Oktober/2012). Sumber: Dok.ICRP |
Nikah beda agama merupakan sebuah realitas baru yang sering muncul disekitar masyarakat kita, namun hingga kini, belum banyak orang yang menaruh perhatian serius terutama mahasiswa terhadap hal ini. Oleh sebab itu, perlu kiranya sebuah kajian dan diskusi akademik untuk membuka wawasan persoalan nikah beda agama ini.
Demikian ungkap ketua DEMA Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam sambutan sekaligus pembukaan acara diskusi dan bedah buku “Pernikahan Beda Agama” di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (30/Oktober/2012) kemarin. Acara ini diselenggarakan oleh DEMA Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) serta Harmony Mitra Media dan didukung oleh Sinarmas dan Garudafood.
Nur Kholis, praktisi nikah beda agama sekaligus penulis beberapa buku nikah beda agama, didaulat menjadi pembicara dalam kegiatan ini. Dan pembicara lainnya adalah Helmi Hidayat, Dosen UIN Jakarta. Keduanya mengutarakan seluk beluk persoalan nikah beda agama secara gamblang. Sekitar 150-an peserta yang hadirpun antusias mengikuti kata demi kata penjelasan yang terucap dari kedua pembicara tersebut.
Selama ini persoalan nikah beda agama masih menjadi momok besar bagi para pasangan yang berniat untuk melakukannya. Karena selain berhadapan dengan persoalan hukum agama, hukum negara, juga harus berhadapan dengan stigma negatif masyarakat. Ketiganya begitu pelik, sehingga sebagian besar pasangan beda agama yang tidak kuat secara mental akan gagal melanjutkan ke jenjang pernikahan. Begitu ungkap Nur Kholis dalam diskusi tersebut.
“Adapun pandangan para ulama secara garis besar terdiri dari 3 bagian. Pertama, melarang secara mutlak nikah beda agama. Kedua, memperbolehkan nikah beda agama dengan syarat-syarat tertentu, seperti menikahi ahli kitab bagi orang-orang muslim. Dan ketiga, membolehkan secara mutlak nikah beda agama, baik ahli kitab atau bukan” tambah Nur Kholis. Tentu pandangan-pandangan para ulama ini juga mempunyai dasar hukum agama masing-masing baik berupa tafsir-tafsir ayat suci maupun fiqih.
Sementara itu sampai saat ini pemerintah masih belum bisa melayani pernikahan beda agama. Hal ini menurut Nur Kholis terjadi karena imbas dari UU No. 1 Tahun 1974 yang melarang pernikahan beda agama. Begitu juga dengan Intruksi Presiden (InPres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berisi hukum perkawinan, waris dan perwakafan. Pemerintah melarang umat Islam menikah dengan orang bukan Islam. “Dan itulah yang dijadikan pedoman para hakim agama dan Kantor Urusan Agama (KUA), hingga saat ini” ungkap Nur Kholis.
Padahal kontitusi kita telah memberikan rambu-rambu kebebasan berkeyakinan dan beragama dengan segala aspek peribadatannya, lanjut Nurkholis. Hal tersebut bisa dilihat pada Pasal 28E ayat 2 UUD 1945 setelah diamandemen kedua disahkan tahun 2000: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Negara kita juga telah tunduk dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dengan hal tersebut, seharusnya negara tidak melakukan tindakan diskriminasi terhadap pasangan nikah beda agama.
Sementara itu, Helmi Hidayat menyatakan salah satu problem dalam nikah beda agama adalah sikap eksoterisme beragama. “Agama hanya difahamai luarnya saja atau agama hanya difahami secara organisasinya saja, begitulah eksoterisme beragama” tegas Helmi. “Jangankan pasangan nikah beda agama, pasangan NU-Muhammadiyah bisa bertengkar terus karena itu (eksoterisme-red)” tambahnya.
Menurut Helmi, pasangan nikah beda agama seperti yang dilakukan oleh Ahmad Nurkholis tersebut diibaratkan seperti Nabi Harun yang berani keluar dari batas-batas kejumudan beragama. Dimana Nabi harun, dahulu, membiarkan umatnya membuat patung-patung atau berhala, karena menurut Nabi Harun hal tersebut tidak musyrik, melainkan hanya sebatas cobaan bagi mereka. Sementara orang atau ulama yang tidak memperbolehkan nikah beda agama diibaratkan sebagai Nabi Musa yang terang-terangan mengatakan perbuatan membuat patung-patung itu adalah musyrik.
“Tinggal terserah kalian, mau jadi Nabi Harun apa Nabi Musa?” tanya Helmi kepada para peserta diskusi yang kemudian disambut dengan tepuk tangan meriah dari ratusan peserta diskusi yang hadir.
“Acara ini merupakan salah satu dari rangkaian program Harmony Goes to Campuss yang di selenggarakan ICRP dan HMM di beberapa kampus di Jakarta, tujuannya adalah untuk memberikan wawasan soal keindonesiaan, kemajemukan, dan pluralisme” ungkap Direktur Pelaksana ICRP Nur Kafid. Selain acara diskusi dan bedah buku, program Harmony Goes to Campuss ini juga akan melaksanakan youth camp dan sekolah jurnalistik yang pesertanya terdiri dari mahasiswa dari berbagai kampus dan latarbelakang. [Mukhlisin]
Sumber: icrp-online.org
tanksy information
BalasHapus